Kisah kita mungkin terbilang singkat, namun penuh timbunan kenangan. Bisakah aku melupakanmu dan membuka pintu lagi? Untuk hati baru yang kan berusaha masuk.
***
"Kamu emang anak fakultas sini?" Meletakan gelas kopi dan tas diatas meja. Lalu membongkar isi tasmu seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
"Iya. Kamu?"
"Enggak. Arsitek" Jawabmu sambil membuka laptop.
"Ooo..." Jawabku singkat seolah tak ingin memperpanjang percakapan.
"Aku punya temen disini. Dia jurusan Jepang"
"Haa?"
"Kenapa? Oiya, kamu jurusan apa?" Mimik wajahmu masih terlihat sama seperti tadi. Tidak berubah. Tidak menggambarkan wajah seseorang yang terlihat heran.
"Temen kamu angkatan tahun berapa?" Aku memotong perkataanmu tanpa menjawab tanyamu.
"Aku lupa. 12 atau 11 gitu, mungkin. Kamu?" Kini perhatianmu penuh pada benda kotak yang ada di depanmu.
"Aku jurusan Jepang. Angkatan 14. Tapi Jurusan Jepang disini ada Bahasa dan Sastra. Temen kamu Bahasa atau Sastra?"
"Aku lupa. Kami temen dari komunitas dikampus"
Apa sih yang di ingatnya? Semua yang ku tanya dijawabmu dengan kata lupa. Keluhku dalam hati.
Aku diam. Tak ingin lagi melanjutkan percakapan.
Ku lihat jam ditanganku, waktu telah menunjukan pukul 17:45. Matahari mulai turun, meninggalkan hangatnya dan perlahan kesejukan pun hadir. Sambil melihat sekitar. Lalu kembali melihat kearah lelaki yang tiba-tiba menggangguku tadi. Aku masih penasaran dengan siapa temannya yang dimaksudkannya tadi. Namun hatiku enggan untuk bertanya padanya lagi. Dia terlihat sibuk. Tetapi masih terbilang cukup ramah dengan orang baru.
"Oiya, jurusan kalian sering buat event tahunan kan ya? Tahun ini gak buat? Karena acara kalian sering dekat waktunya dengan acara komunitas kami. Kadang faiz absen tiap latihan karena harus prepare acara tahunan kalian juga alasannya" tiba-tiba tanyaku terjawab. Dia bisa baca pikiranku, kah?
Ooo faiz nama temennya. Tapi aku gak kenal. Bahaya sih kalau dia tahu aku enggak mengenali temannya yang jelas-jelas senior aku. Apalagi angkatan temennya kakak tingkat pembimbing aku lagi. Bahaya banget malah.
"Oo bang faiz. Namanya acara tahunan, bang. Pasti tiap tahun ada. Tapi kan ini masih awal tahun. Biasanya kan acaranya agak pertengahan tahun gitu" sambutku. Sambil berpura-pura seolah aku mengenal orang yang dimaksudkannya.
"Iya sih"
Aku kembali diam.
"Kamu gak pulang?" Kini fokusmu padaku.
Aku pun melihatmu. Melihat lekat wajahmu. Matamu bagus. Kali pertama aku kenalan sama cowok di kampus yang bukan satu jurusan denganku. Apalagi satu fakultas. Dan yang sedari tadi memulai percakapan adalah dia. Ini aku yang emang menarik? Atau dia hanya mencoba menghargai, karena sedang bertandang di fakultas lain. Tapi yaa... cowok kan emang begitu. Awal-awalnya kelihatan baik, asik, diajak ngobrol apa aja nyambung. Nanti giliran masuk ke tahap nyaman. Ya ditinggal juga. Bangsat emang. Terus bilang kalau kamu terlalu baik buat aku. Atau, you can deserve better one.
"Aku gak tau kalau kampus ini ada fasilitas penginapan. Walau aku sering melihat anak-anak lain disini sampai malam sih"
Kamu cengegesan.
"Kenapa?" Sambungku.
Aku membereskan buku dan kertas-kertas diatas mejaku yang berserakan sedari-tadi. Memasukannya ke dalam tas. Dan bersiap untuk pulang dan meninggalkanmu. Melepas kabel charger laptop, mematikan, menutup lalu memasukannya ke dalam tas.
"Yaudah, aku duluan ya bang dian azkha."
"Eh gez, bentar."
Langkahku terhenti.
"Bareng aja yuk. Aku juga udah selesai"
Kali ini mungkin bukan hanya langkahku yang terhenti. Mungkin nafasku sebentar lagi akan berhenti.
***
"Kamu bawa kendaraan pribadi?" Kamu lagi yang memulai percakapan ini. Padahal mulai turun dari atas gedung tadi aku sudah menahan beribu kata yang ingin terucap namun terus ku tahan.
"Biasanya iya. Tapi hari ini enggak."
"Yaudah aku antar aja ya? Aku bawa motor"
"Enggak usah. Gez bisa pulang sendiri kok, bang. Segan, baru kenal juga"
"Gak masalah, gez. Kamu kan junior faiz. Anggap aja junior aku juga"
Mungkin benar. Sebentar lagi nafasku akan terhenti.
Mimpi apa ya aku kemarin malam? Atau, dosa apa yang sudah ku perbuat belakangan ini sehingga aku harus bertemu seseorang yang seperti ini?
Aku takut kejadian yang lalu akan terulang kembali. Luka ku masih basah. Salahku mungkin yang selama ini menutupnya dengan plester, sehingga memperlambat penyembuhannya. Membuat bakteri - bakteri kenangan semakin berkembang biak di dalamnya.
Move on dengan lomba lari itu sama-sama menyesakkan. Bedanya, kalau lomba lari itu kita tahu kapan dan dimana kita harus berhenti. Kalau move on? Entahlah.
Sepeda motornya berhenti pas di depan tempat aku berdiri. Dia memberi helm yang satunya padaku. Lalu memberikan kode untuk aku naik dibelakangnya. Dia menggunakan CBR Merah. Yang mengharuskan aku mau tidak mau harus memegang pundaknya dahulu sebelum naik dibelakangnya.
"Maaf ya.."sebelum aku duduk dibelakangnya.
Sore ini indah. Langit begitu manja memamerkan warna jingganya pada dunia. Mungkin ini yang dimaksud dengan Magic Hour, saat dimana setiap helai daun dan rumput tampak terpisah, ketika sinar matahari, terbakar oleh hujan dan melunak pada malam yang akan datang, memberi dunia cahaya yang luar biasa indah. Mungkin dia ingin mengiringi sore menjelang malamku ini, yang harus ku habiskan berdua dengan lelaki yang baru ku kenal beberapa jam yang lalu.
Tuhan.. kenapa kau berikan aku cinta di dalam hati jika hanya untuk dipatahkan? Ku mohon, cukupkan yang kemarin sebagai yang terakhir. Aku tlah lelah.
***
"Gez, aku gak bisa baca pikiranmu loh"
"Haa?" Tiba-tiba dia mengagetkanku.
"Kok baca pikiranku, bang?"
"Iya, dari awal kita jalan. Sampai sekarang, kamu belum bilang rumah kamu dimana, gez"
Astaga. Aku lupa. Pikiranku telah berlarian kemana-mana sedari awal dia mengajak aku untuk pulang bersama.
"Jalan Krakatau, bang. Gang Mangga"
"Oke deh."
"Oiya, rumah abang dimana? Maaf ya jadi ngerepotin banget gini jadinya"
"Gak masalah kok, gez. Lagian besok aku libur. Sekalian refreshing. Aku kos di dekat kampus ini kok" kita saling memandangi dari spion motormu.
"Padahal gezsa bisa pulang naik ojek online, bang. Jadi ngerepotin gini" aku bicara setengah triak di telinganya. Suaraku, dengan suara-suara kendaraan lain di jalanan, terasa seperti guntur yang saling bersaut-sautan besarnya. Ditambah lagi helm yang ku gunakan terasa memekakkan telinga.
***
Tibalah di depan gerbang hijau, dengan nomor rumah 19 A. Jarak rumah ku dari kampus yang biasanya akan menghabiskan waktu hampir satu jam. Kali ini terasa seperti hanya 5 menit. Mungkin karena aku yang terlalu menikmati perjalanan pulang kali ini.
"Terima kasih banyak ya bang.. az.. dian azka"
"Panggil diaz juga boleh, gez" kamu tersenyum.
Ku lepas, lalu ku kembalikan helmnya.
"Maaf ya bang ngerepotin. Baru juga kenal. Udah sampai nganterin pulang gini"
"Gak masalah,gez" kalimat ini telah terulang hampir 4 kali. Mungkin kalau di room chat, dia copy-paste dari chat yang sebelumnya untuk di kirim ulang padaku.
"Jangan kapok ya kamu. Aku pulang."sambungmu lagi. Sambil pergi meninggalkan aku sendiri di depan gerbang rumahku.
Lah? Kok malah aku yang jangan kapok?
Apakah aku masih dipersimpangan jalan lagi?
To be Continue
Komentar
Posting Komentar