Kamuku.
Entah kapan tepatnya detakan
jantungku dipengaruhi oleh hadirmu. Frekuensinya semakin tinggi, disaat tanpa
sengaja pandanganku terarah padamu. Jangan tanya lagi kapan awalnya. Karena
hasil dari pertanyaan itu kelak takkan menemukan jawabnya. Tetapi kan
menghasilkan hujaman yang dahsyat di jantungku karena harus terfokus untuk
memikirkanmu.
Aku
pernah baca sebuah kutipan cinta “kita takkan pernah tahu kepada siapa hati ini
kan memilih, tetapi kita harus tahu kepada siapa hati ini harus berjuang”. Bukankah
cinta tak semudah itu untuk terkontrol?
Kita. Kamu
dan aku. Tak pernah merencanakan hadirnya rasa ini dahulu. Dan saat ini dia
hadir diantara kita. Karenanya tertawa bersamamu terasa begitu menyenangkan. Karenanya
berbagi denganmu merupakan sebuah kebahagiaan. Dan juga karenanya, tetesan air
mataku terasa sebagai sebuah perjuangan. Detik-detik waktu panjang yang pernah
kita lalui terasa begitu singkat.
Kita
pernah saling memiliki cinta yang berbeda sebelum akhirnya kita memiliki cinta
yang sama. Kamu dengan kekasihmu, begitu pun aku. Entah apa yang tuhan
rencanakan kepada kita. Hingga kini, kamulah sang kekasihku. Kamu yang memiliki
perhatian, peduli, sayang, khawatir, bahkan cinta yang ku punya. Aku sempat
meragu akan rasamu, hingga akhirnya ungkapan dan tindakanmu menjawab raguku. Kamu
milikku.
Tak
sekali hal-hal sederhana menjadi penyedap rasa yang kita punya. Tak sekali ada
api yang menyulut diantara kita. Dipengaruhi ego yang kita miliki. Membakar
lembaran-lembaran yang belum sempat tertulis oleh kisah. Namun ada kalanya
kedewasaan itu hadir. Menjadi pereda api yang telah membara. Yang menyadarkan,
saat ini bukan lagi saatnya untuk menambah bab dari buku kehidupan dalam judul percintaan.
Tetapi sekarang adalah saatnya untuk meneruskan halaman yang telah ada untuk
terus kita sempurnakan bersama.
Hingga disuatu
sore kamu sempat menanyakan hal itu padaku.
“kamu
ingat kapan kita awalnya kenal?”
“kapan
ya? Aku gak ingat”
“aku
juga”
“yang
jelas dulu aku belum cinta kamu”
Tatapanmu
mewakili tanggapanmu.
“bener
kan yang aku bilang?”lanjutku.
Sekali
lagi tatapanmu menjawabnya.
“apa
yang salah?”lanjutku lagi.
Hingga akhirnya
bibirmu yang menjawabnya.
“aku
juga belum cinta kamu waktu itu.”
“iya
itu, makanya kita lupa”
Matamu terus
menatapku. Jantungku terus menghujam. Waktu yang berdetik di arlogiku terasa
terhenti. Dalam diam aku berharap “tuhan, jika aku boleh memohon padamu. Aku
boleh minta dia buat aku aja ya? Jangan titipkan dia kepada siapapun lagi. Please,
terus titipkan dia buat aku ya” dan aku berharap, semoga tuhan meng-iyakan
harapanku itu.
Komentar
Posting Komentar